Tempo
28 Februari 2020 pukul 09.05
Penyimpangan dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat tak bisa dibiarkan. Pemerintah tidak boleh tutup mata atas kebocoran dana itu di mana-mana. Kebocoran itulah yang menyebabkan sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di sana tertinggal jauh dari daerah lain.
Pemerintah semestinya segera bertindak setelah Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan dugaan kebocoran dana otonomi khusus sebesar Rp 556 miliar, dua hari lalu. Menurut Suahasil, pengeluaran dana otonomi khusus tidak jelas pertanggungjawabannya. Pengadaan barang dan jasa dari dana ini pun banyak yang menabrak aturan.
Sayangnya, temuan berulang atas penyimpangan dana otonomi khusus seperti tidak ada kelanjutannya. Padahal bukan kali ini saja Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kejanggalan. Sembilan tahun lalu, lembaga ini menerbitkan hasil audit investigatif terhadap dana otonomi khusus 2002-2010. Hasil audit itu menemukan indikasi penyimpangan dana otonomi khusus sebesar Rp 4,2 triliun. Penyelewengan itu menyebabkan kerugian negara Rp 319,7 miliar.
Modus yang kerap ditemukan, antara lain, menempatkan dana untuk didepositokan di bank. Tak sedikit dana otonomi khusus yang kemudian digelapkan. Padahal dana tersebut semestinya disalurkan untuk kegiatan ekonomi, pendidikan, dan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di sana. Inilah yang menyebabkan pemanfaatan dana otonomi khusus oleh pemerintah daerah Papua dan Papua Barat masih belum maksimal.
Tak mengherankan bila kemudian muncul syak wasangka: korupsi dana otsus ini sengaja dipendam demi menjaga “persatuan dan kesatuan” dengan provinsi di ujung timur Indonesia tersebut. Pemerintah pusat terkesan tidak mau menuntaskan perkara korupsi karena khawatir membuka konflik dengan tanah Papua. Bila sinyalemen itu benar, pembiaran terhadap korupsi atas nama integrasi bangsa bisa menjadi bumerang.
Buktinya, kucuran dana yang meningkat setiap tahun tidak mampu memupus kemiskinan dan keterbelakangan di sana. Padahal, sejak 2002, pemerintah telah mengguyurkan dana otonomi khusus sebesar Rp 126,99 triliun. Rinciannya, Papua menerima dana otonomi khusus Rp 93,05 triliun dan Papua Barat mendapat Rp 33,94 triliun, sejak 2009.
Ironisnya, aliran dana ini tidak berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) di dua wilayah itu. Dana kesehatan, yang seharusnya digunakan untuk perbaikan gizi dan pencegahan penyakit, dihabiskan untuk kegiatan seperti lokakarya dan biaya administrasi. Tahun lalu, skor IPM Papua 64,7. Adapun skor IPM Papua Barat 60,84. IPM Papua dan Papua Barat masih tercatat pada urutan terakhir di Indonesia. Bandingkan, misalnya, dengan daerah yang tak jauh dari Papua, yakni Sulawesi Utara, yang skor IPM-nya mencapai 72,2.
Pemerintah pusat harus bersikap tegas untuk memutus lingkaran korupsi di sana. Sudah sepantasnya pejabat daerah yang terbukti menilap dana otonomi khusus menerima hukuman seberat-beratnya. Tanpa sikap tegas, korupsi akan terus berulang dan kucuran dana itu hanya menguntungkan segelintir elite daerah.