Otsus Papua berakhir tahun depan. Banyak pihak menilai semestinya proyek itu tak dilanjutkan.
tirto.id – Otonomi khusus (Otsus) untuk Papua dan Papua Barat akan berakhir pada 2021 lalu. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berencana memperpanjangnya untuk 20 tahun ke depan. Otsus, katanya ketika berkunjung ke Timika, Papua, Kamis (23/7/2020) pekan lalu, “sangat diperlukan untuk percepatan pembangunan di Papua.”
Sehari sebelumnya ia meminta Komisi II DPR RI mengutamakan pembahasan RUU Otsus. “Urgent, perlu diselesaikan tahun ini,” katanya.
Otsus diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Peraturan ini disahkan di Jakarta pada 21 November 2001 oleh Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Otsus memberikan kewenangan lebih bagi Papua dibanding daerah lain yang diperoleh dari otonomi daerah biasa.
Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2019 lalu menulis Otsus adalah “jalan tengah bagi kelompok pro kemerdekaan Papua dan pemerintah pusat.” Ketika itu aspirasi untuk merdeka memang sedang tinggi-tingginya di tanah Papua. Keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, bulat menyebut rakyat Papua ingin lepas dari Indonesia.
Namun meski ditentang, termasuk oleh individu seperti Theys Hiyo Eluay, yang kelak dibunuh Kopassus, Otsus akhirnya berlaku.
Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, menyebut melanjutkan Otsus atau tidak perlu ada dasarnya. Itu bisa dilihat dari empat aspek: kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.
Evaluasi terhadap empat aspek itu semestinya melibatkan para ahli dan yang paling utama harus mengikutsertakan orang asli Papua. “Evaluasi Otsus dikembalikan ke rakyat, rakyat yang menilai,” kata Ketua MRP Timotius Murib ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (26/7/2020).
Berdasarkan Pasal 77 UU Otsus, usul perubahan UU dapat diajukan rakyat Papua melalui MRP dan DPRP (legislatif Papua) kepada DPR atau pemerintah. Masalahnya, selama ini aspirasi masyarakat kurang didengar. “Jokowi datang ke Papua tidak pernah bicara dengan MRP. Itu fatal. Lalu dari mana Jokowi mau mendapatkan aspirasi pembangunan yang sesungguhnya diinginkan rakyat Papua?”
Bukan Otsus, tapi Referendum
Pastor Yohanes Jonga, yang telah bekerja selama 30an tahun di Papua, mengatakan “secara umum, masyarakat termasuk umat Katolik, menyuarakan setop sudah dengan Otsus.” Kepada reporter Tirto, Senin (27/7/2020), ia mengatakan “terlalu banyak dampak yang buat masyarakat tambah susah seperti pembunuhan, pelanggaran HAM.”
Lagipula dana Otsus tak maksimal, katanya. Ada empat keuskupan di Papua dan satu lainnya di Papua Barat yang mendapatkan dana Otsus Rp2 miliar per tahun. Uang tersebut biasa digunakan untuk operasionalisasi. “Tapi hanya satu sekolah calon pastor/pelayan umat [yang menerima], itu Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura. Bantuan yang berkaitan dengan SDM keagamaan tidak ada.”
Asmiati Malik dalam artikel di The Conversation menyimpulkan dana Otsus yang digelontorkan sejak 2000 “gagal mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah Papua.” Pertumbuhan ekonomi Papua “tetap saja mandek,” katanya.
Kepada reporter Tirto, Senin (27/7/2020), Filep Karma, mantan tahanan politik Papua, mengatakan “Otsus dijanjikan bukan berjilid-jilid, hanya satu kali.” Menurutnya Otsus jilid pertama sudah gagal, “tidak bawa perubahan dan justru menambah penderitaan,” dan oleh karenanya “tak layak diperpanjang.”
Ia mengatakan selama Otsus, pelanggaran-pelanggaran HAM terus terjadi. “Di era Jokowi malah lebih sadis lagi, semakin meningkat. Tidak sebanding dengan pembangunan infrastruktur dan penyamaan harga,” katanya.
Laporan penyelidikan Amnesty International Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua menyebut sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018, ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua–atau dalam istilah hukum internasional disebut ‘unlawful killing.’ 39 kasus itu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Joko widodo.
Ke-69 kasus pembunuhan tersebut minim pertanggungjawaban hukum. Para pelakunya tak tersentuh alias kebal hukum, menggambarkan impunitas alias kejahatan tanpa hukuman tumbuh subur di Papua.
Ini tidak sejalan dengan Pasal 45 UU Otsus. Di sana tegas disebutkan bahwa pemerintah “wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM.” Dan itu melaksanakan itu, pemerintah membentuk perwakilan Komnas HAM, pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komnas HAM Papua memang ada, tapi kewenangannya terbatas. Sementara dua organisasi lain tak dibuat.
Lagipula, pembangunan dan penyamaan harga–seperti BBM satu harga–bukan sesuatu yang patut dibanggakan Jakarta karena itu memang kewajiban mereka.
Filep lantas menegaskan: “Sudah tak ada ruang dan waktu bagi Indonesia untuk membangun Papua. Pembangunan yang bisa ditawarkan hanyalah referendum.”
Seruan tolak otsus dan dukung referendum juga disampaikan Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda.
“Solusi yang adil, demokratis, dan layak untuk West Papua: dipenuhinya hak rakyat Papua untuk menentukan pendapat sendiri melalui referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat,” katanya, 10 Juli kemarin.