Ayo Awasi Dana Desa! Dana Desa Bukan Dana Kepala Desa

Ayo Awasi Dana Desa! Dana Desa Bukan Dana Kepala Desa

INFO, Alokasi Dana Desa mengalami peningkatan dari tahun sbelumnya. Tahun 2015-2016 mengalami peningkatan 100 persen bahkan sampai 120 persen.

Tahun 2016 pencairan Dana Desa tembus pada angka Rp 46,9 Triliun seindonesia, jadi dalam proporsinya satu desa mendapat minimal Rp 600 juta bahkan Rp 1 miliar dari APBN dan APBD.

Dibalik dari Dana Desa tersebut di level pemerintahan desa, seperti kemampuan SDM dan aparatnya yang tidak mampu mengelola manajemen keuangan. Pemerintah desa diharapakan mampu memahami pemerintahan, manajemen keuangan, sehingga diharapkan menjadi dana yang mensejahterahkan masyarakat desa.

Disatu sisi kondisi perdesaan saat ini, sesuai dengan nawacita pemerintahan jokowi-jusuf kalla untuk membangun desa berbasis kota, maka desa yang belum memenuhi persyaratan perlu ditingkatkan jadi kelurahan, karena basic pemerintahan sekarang adalah berbasis kota, dengan tidak meninggalkan tradisi.

Pemahaman Kepala Desa saat ini, umumnya Dana Desa adalah Dana Kepala Desa, sehingga boleh jadi kepala desa seenaknya menggunakan atau peruntukannya berdasarkan kebutuhan Kepala Desa, bukan keinginan warga, padahal Anggaran Dana Desa sesuai peruntukannya tak boleh dipihak ketigakan, harus dikelola secara swakelola, dengan demikian penyerapan tenaga kerja didesa akan terserap.

Apa yang terjadi jika kedepan ada penyelewengan dana desa ? Tentunya semua pihak harus mengawasi, dimana jika terjadi penyimpangan, maka bisa dikenakan sanksi hukum pidana. Selain itu, dapat juga memicu mundurnya Demokrasi politik ditingkat Desa. Dimna Para Calon Kepala Desa akan mengeluarkan Dana sebesar-besarnya untuk melakukan Money Politic, bahkan akan lahir sponsor-sponsor Pendana Calon Kepala Desa. Dengan harapan akan tergantikan oleh anggaran, setelah terpilih menjadi Kepala Desa. Bila ini terjadi maka anggaran atau Dana Desa akan lari keluar Desa.

Pengawasan tersandera Jika dilihat dari Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Kepala Desa maupun Pejabat Desa, akan mudah terdeteksi realisasi pembangunan, pertanggung jawaban dan Keuangan Desa tersebut.

Karena Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan Informasi Publik, masyarakat juga bisa melihat Perencanaan Pembangunan Desa dan Realisasi Pembangunan itu sendiri. Telah menjadi Polemik Penegakan hukum, Namun ketika masyarakat melakukan audit Independen terkait penggunaan Dana Desa, dan menemukan Indikasi Penyalagunaan korupsi atau maladministratif terhadap penggunaan Dana Desa, akan menjadi problema baru dalam Penegakan Hukum terkait penyimpangan tersebut.

Dibebrapa kasus yang ada terkait penegakan hukum terhadap penyimpangan Dana Desa, hanya sedikit yang diproses oleh kejaksaan. Apa alasannya ? Jawabannya karena jika Kejaksaan mengusut kasus dugaan korupsi ADD, maka akan muncul peribahasa yang mengatakan “lebih besar pasak daripada tiang” mengapa demikian ? Perlu diketahui bahwa dana tingkat penyidikan untuk mengusut kasus tersebut lebih dari Rp. 200 juta, bagaimana jika dugaan korupsinya mencapai Rp. 100 juta, maka tentunya Negara akan mengeluarkan lebih besar dari Dana yang dikorupsikan tersebut atau Selewengkan.

Biaya yang terbesar biasanya digunakan untuk menyewa auditor independen dalam mengusut kasus tersebut, belum lagi biaya Pengumpulan Bahan Keterangan (PULBAKET), dan lain-lain. Sehingga ini menjadi keengganan untuk mengusutnya. Padahal jelas dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai pengujian UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), bahwa dalam UU PTPK dikonstruksikan dalam bentuk delik materiil.

Sehingga tidak perlu memperlihatkan kerugian negara yang timbul ataupun niat jahat pelakunya, namun dikedepankan perbuatan tersebut telah masuk dalam unsur-unsur yang ada dalam delik korupsi itu sendiri. Sehingga tidak perlu melihat kerugian negara yang ditimbulkan, namun berpacu pada unsur-unsur delik yang dilanggar, apakah telah memenuhi atau tidak, untuk bisa ditangani. .

Padahal kejaksaan sama sekali tidak pernah melakukan gelar perkara terbuka, sehingga masyarakat dapat mengetahui hasil audit yang pasti dari kejaksaan. Tentunya peristiwa tersebut sangat menodai semangat pemberantasan korupsi yang dibangun masyarakat. Padahal justru kontrol pengawasan dana desa sangat efektif berjalan, karena dekat dengan masyarakat. Namun ketika masyarakat menemukan indikasi terjadinya korupsi, justru Kejaksaan menyampingkan hal tersebut dengan alasan lebih besar biaya penanganan kasus daripada dana yang dikorupsi.

Pemerintah dalam hal ini sudah membuat suatu kebijakan yang baik dengan dikucurkannya Dana Desa, pengawasan Dana Desa juga sudah terbukti efektif, dengan semakin cerdasnya masyarakat dalam melaporkannya dugaan penyimpangan Anggaran Desa, kini tinggal proses penegakan hukum dari hasil pengawasan masyarakat yang perlu dibenahi.

Tahun ini adalah tahun ke dua program Dana Desa dari pemerintah. Pada tahun 2015 lalu, pemerintah pusat mengalokasikan Dana senilai Rp. 20,7 Triliun untuk Pembangunan Infrastruktur di setiap sudut Desa di Indonesia. Di Tahun 2016 ini, angka yang dialokasikan meningkat signifikan. Pemerintah menganggarkan angka sebesar Rp. 47 Triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 untuk Pemerataan Pembangunan Desa. Pada Maret dan Agustus 2016 ini Dana Desa kembali dikucurkan secara bertahap dengan angka sebesar Rp. 1,2 miliar.

Tentu saja setiap Desa di Indonesia memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Melihat pentingnya Dana Desa untuk pembangunan tentu perlu dilakukan pengawasan agar dana tersebut tepat guna. Siapapun berhak melakukan pengawasan di desanya masing-masing, termasuk wartawan.(sumber jejak kasus)